
Mengukur tingkat kebahagiaan satu generasi pasti akan berbeda dengan generasi sebelumnya. Penunjang pencapaian terhadap tujuan hidup pasti berbeda di tiap masa. Di generasi terdahulu, satu tempat yang memiliki akses terhadap banyak hal, seperti di kota-kota besar, adalah salah satu penunjang pencapaian kebahagiaan. Maka, di generasi tersebut banyak anak muda menjadikan perantauan sebagai salah satu cara mengejar kesuksesan.
Namun, apakah internet membuat kita bahagia atau justru sebaliknya?
Satu studi yang dipublikasikan di The New Yorker, rata-rata pengguna media sosial mengaku bahwa dalam kenyataannya sering merasa sedih dan terisolasi. Hasil riset tersebut didukung oleh John Cacioppo, direktur Center for Cognitive and Social Neuroscience di University of Chicago. Dalam jurnalnya yang berjudul Loneliness (2008), ia menyebut tentang epidemic kesepian. Satu gangguan kejiwaan yang memengaruhi interaksi sosial manusia.
Cacioppo meneliti kadar kesepian seseorang dengan menguji sampel DNA melalui urin. Dan ditemukan bahwa mereka yang menggunakan internet dan media sosial, cenderung memiliki kandungan epinephrine dan hormon stress yang lebih tinggi.
Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa orang-orang menggunakan internet, khususnya media sosial, untuk menjalin relasi dengan orang lain dan pemenuhan kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Sialnya, interaksi-interaksi tersebut dianggap sebagai pengganti interaksi di dunia nyata. Padahal, interaksi dunia maya, tak akan pernah mengganti relasi di dunia nyata.
Selain itu, media sosial sebagai penampakan citra seseorang, menuntut penampilan yang sesempurna mungkin. Tuntutan-tuntutan itulah yang seringkali harus dipenuhi oleh banyak orang. Mereka rela melakukan apa saja, asalkan dikenal dan tampil sesempurna mungkin di hadapan teman-teman di dunia maya. Hal tersebut akan menimbulkan tekanan tersendiri untuk memenuhinya. Internet, dalam satu sisi berkaitan erat dengan ketidakbahagiaan. Namun, di sisi lain, terdapat sesuatu yang disebut Subjective Happiness. Satu kesimpulan dari gerakan psikologi positif, didefinisikan sebagai keadaan psikologi yang berasal dari kesejahteraan, sukacita, dan kepuasan. Hal tersebut membuat kebahagiaan bisa berbeda ukurannya di setiap individu. Seseorang ada pada keadaan yang bahagia, saat frekuensi afeksi positif menjadi lebih banyak daripada yang negatif dalam memandang peningkatan menuju tujuan hidupnya.
Berbeda dengan pendapat sebelumnya, kebutuhan-kebutuhan yang terpenuhi lewat internet, justru membuat internet menjadi syarat mutlak kebahagiaan hari ini. Ketika online, seseorang akan merasa bergairah, riang, dan atraktif. Sebaliknya, jika offline, seseorang mampu merasa terasing, kesepian, dan merasa tidak dibutuhkan.
Percobaan tersebut menunjukkan bahwa saat Anda sangat ingin menyaksikan episode tayangan favorit, entah lewat youtube atau Netflix, atau sedang streaming tayangan olahraga dan ternyata mengalami buffer yang terlalu sering dan lama, Anda seringkali memilih untuk tidak melanjutkannya. Sebab, Buffering hanya akan membuat stress Anda bertambah besar.
Akses internet yang lemot, operator dan pelayanan provider yang lambat, dan Anda telah membayar mahal. Bayangkan, betapa stress-nya Anda sebagai bagian dari masyarakat modern yang menjadikan internet sebagai salah satu syarat kebahagiaan.